ICW Sebut Praktik Kecurangan Pemilu 2024 akan Kembali Terulang di Pilkada
JAKARTA (Ampuh.id) – Peneliti Indonesia Coruption Watch (ICW) Egi Primayogha menyebut berbagai praktik kecurangan yang terjadi secara vulgar pada Pemilu 2024 berpotensi akan kembali terjadi pada Pilkada 2024 nanti.
“Praktik kecurangan pemilu yang terjadi secara vulgar pada Februari lalu itu, berpotensi terjadi kembali pada Pilkada 2024. Meliputi banyak hal, baik itu politik uang, bansos, dan sebagainya termasuk juga politik dinasti,” kata Egi dalam diskusi bertajuk ‘Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralitas ASN’, di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Egi menyatakan bila melihat hasil perselisihan hasil Pemilu Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), dengan adanya dissenting opinion dari tiga hakim dan tak ada pengungkapan yang adil terhadap kecurangan yang terjadi di Pemilu 2024, maka yang terjadi adalah normalisasi.
“Orang-orang akan berani untuk melakukan praktik kecurangan dan itu sekali lagi akan terjadi di Pilkada 2024,” kata dia.
Pertama, ungkap dia, berkaitan dengan pengerahan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang akan turut marak terjadi di Pilkada 2024.
“Ternyata di pilkada itu lebih marak, karena kepala daerah itu terutama incumbent atau pejabat sekarang, andai kata dia mendukung salah satu calon, dia bisa mengarahkan ASN untuk memilih kandidat yang ia dukung. Itu modus pertama,” terang Egi.
Model lain, kata Egi, ada dalam bentuk imbalan atau hukuman. Imbalan yang ia maksud, yakni bila ASN tersebut memilih kandidat tertentu, maka akan mengalami kenaikan jabatan atau mendapat posisi yang lebih baik dari sebelumnya.
“(Kalau) hukuman dalam arti ketika dia tidak menjalankan praktik atau komando itu, dia bisa dimutasi atau diturunkan jabatannya atau dipindah ke posisi yang tidak diinginkan, itu soal netralitas ASN,” tegasnya.
Kemudian kedua, yakni politik gentong babi yang berkaitan dengan pemberian bantuan sosial (bansos).
“Kami duga ini juga akan semakin marak, apalagi kemarin ternormalisasi dari Pemilu 2024 ada bagi-bagi sembako untuk merayu voters agar memilih calon yang memberikan bansos,” tutur Egi.
Terakhir, mengenai kotak kosong yang sebenarnya bukan menjadi fenomena baru, yang digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu. Padahal, menurut dia, latar belakang hadirnya kotak kosong adalah sebagai bentuk protes atau perlawanan publik terhadap parpol yang tidak mampu menyediakan calon alternatif.
“Ketika misalnya ada calon tunggal yang mana tidak sehat dalam demokrasi karena demokrasi mengandalkan kompetisi yang setara, adil, tapi tanpa adanya calon saingan maka itu tidak patut sebetulnya dilakukan, itulah kenapa disediakan mekanisme kotak kosong sebagai protes voting. Sayangnya mekanisme ini justru digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu,” tandas Egi. (*)