Debat Ketiga Pilgub Jateng Tak Sentuh Isu Kebudayaan Terkini
SEMARANG (Ampuh.id) – Kalangan seniman dan budayawan Jawa Tengah harus menelan kekecewaan, karena Debat Ketiga Pilgub Jateng 2024 tidak menyentuh isu-isu kebudayaan terkini. Dua pasangan calon yaitu Andika Perkasa-Hendrar Prihadi yang diusung PDIP dan Ahmad Luthfi-Taj Yasin yang diusung NasDem, PKS, PAN, PKB, Golkar, Gerindra, PPP, Demokrat, dan PSI, terkesan berbicara secara normatif ketika menyinggung tentang kebudayaan.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Gunoto Saparie kepada wartawan, Rabu malam, 20 November 2024, seusai menonton Debat Ketiga Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2024 di Gedung Muladi Dome, Universitas Diponegoro, Tembalang, Semarang. Tema debat yaitu “Membangun Sosial Budaya, Pendidikan, Kesehatan, dan Perlindungan untuk Masyarakat yang Sejahtera dan Toleran.”
Meskipun demikian, Gunoto mengaku tidak sepenuhnya terkejut atau heran ketika para calon gubernur dan wakil gubernur kurang menyentuh persoalan atau isu kebudayaan dalam debat pamungkas tersebut. Sejak isu kebudayaan sebagai alat kampanye memang kurang seksi. Ia tidak menjadi perhatian partai politik dan para kandidat kepala daerah dalam kampanye.
“Terus terang saya agak kehilangan harapan karena isu kebudayaan justru termarjinalkan dalam debat terakhir Pilgub Jateng itu. Gagasan para kandidat tentang kebudayaan terkesan kurang mendalam. Boleh dibilang mereka hanya berbicara tentang kebudayaan sebatas permukaan,” ujar Ketua Umum Satupena Jawa Tengah ini.
Menurut Gunoto Saparie, seharusnya pasangan calon nomor urut 1 dan 2 fokus pada upaya yang bersifat teknis dalam memajukan kebudayaan. Misalnya, setelah di tingkat pusat ada Kementerian Kebudayaan, mengapa para kandidat gubernur dan wakil gubernur tidak terbersit sedikit pun rencana akan memisahkan Dinas Kebudayaan dan Dinas Pendidikan Jawa Tengah?
Selain itu, demikian Gunoto, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah yang diundangkan pada 28 Agustus lalu membutuhkan Peraturan Gubernur (Pergub). Perda Pemajuan Kebudayaan Daerah jangan sampai terkendala implementasinya, padahal regulasi itu sangat diharapkan oleh para seniman dan budayawan, khususnya di Jawa Tengah.
“Nah, seharusnya para calon gubernur dan wakil gubernur di Jawa Tengah tertantang untuk berbuat lebih nyata, yaitu membuat pergub tentang pemajuan kebudayaan tersebut. Namun, ternyata mereka lebih suka berbicara yang mengambang dan abstrak,” katanya.
Gunoto mengingatkan, untuk menjamin pelaksanaan pemajuan kebudayaan oleh pemerintah daerah perlu adanya penyelarasan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Di samping itu, untuk memudahkan pemerintah daerah dalam menyusun PPKD perlu penyederhanaan mekanisme penyusunan. Ketika dalam penyusunan PPKD beberapa waktu lalu terkendala oleh minimnya data di tingkat kecamatan atau kelurahan, mengapa para calon gubernur dan wakil gubernur tidak tertantang untuk menghidupkan kembali para penilik kebudayaan?
Seharusnya, demikian Gunoto, para calon gubernur dan wakil gubernur membuat terobosan dalam gagasan mengupayakan pemajuan kebudayaan di Jawa Tengah. Selama ini kalangan seniman dan budayawan lebih banyak terkendala dana dalam proses aktivitas dan kreativitas. Kalau model pendanaan yang paling sehat bagi ekosistem kebudayaan adalah lewat mekanisme dana abadi kebudayaan daerah, mengapa hal ini tidak dijadikan program? Padahal program-program kebudayaan yang lebih inovatif dan berdampak jangka panjang membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. (*)