|

Lomba Musik di Era Hybrid: Efisien, tapi Kurang Greget?

Oleh : Hafid Zuhdan Bahtiar, S,Pd., M.Sn

SEMARANG (Ampuh.id) – Sejak pandemi berakhir, geliat dunia musik kembali bergema. Panggung-panggung pertunjukan musik, baik yang formal maupun non-formal, mulai ramai diadakan di berbagai kota.

Tidak hanya itu, perlombaan musik pun bermunculan di mana-mana, memberikan ruang bagi para talenta muda untuk unjuk kebolehan.

Namun, satu hal yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana format lomba kini banyak mengusung sistem hybrid: kombinasi antara daring dan luring.

Biasanya, di tingkat kota atau kabupaten, lomba masih digelar secara luring—peserta hadir langsung di lokasi.

Namun, ketika naik ke tingkat wilayah atau nasional, banyak panitia yang beralih ke format daring.

Beberapa bahkan hanya meminta peserta mengirimkan video rekaman penampilan melalui Google Drive.

Sayangnya, tidak semua panitia mengunggah video tersebut ke media sosial atau platform umum. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang transparansi dan semangat kompetisi.

Sebagai contoh, dalam lomba yang murni berbasis pengiriman video, peserta tidak bisa melihat penampilan kompetitor lainnya.

Ini tentu berbeda dengan lomba luring, di mana peserta bisa secara langsung menilai, belajar, bahkan termotivasi dari kualitas lawan-lawan mereka.

Padahal, ada pula panitia yang cukup fair dengan mengunggah semua video peserta, sehingga publik bisa melihat dan menilai sendiri kualitas tiap penampilan.

Format semacam ini patut diapresiasi karena lebih terbuka dan adil.

Dari sisi penyelenggara, sistem lomba daring tentu memiliki banyak kelebihan. Biaya produksi lebih hemat, kebutuhan tenaga panitia lebih sedikit, dan waktu pelaksanaan pun lebih fleksibel.

Tapi, di sisi lain, ada satu hal penting yang mulai terkikis: jiwa perlombaan itu sendiri jiwa perlombaan bukan sekadar tentang menang atau kalah.

Ini tentang adrenalin yang terpacu saat tampil di atas panggung, rasa tegang bercampur bangga saat menunggu giliran, dan momen kebersamaan saat melihat performa peserta lain. Ketika lomba hanya berupa pengiriman video, anak-anak kehilangan momen penting itu.

Tidak ada rasa berjuang melawan diri sendiri di panggung, tidak ada pembelajaran dari kompetitor, dan yang paling disayangkan, tidak ada rasa saling mengapresiasi antar peserta, jangan sampai efisiensi mengebiri esensi.

Dunia pendidikan seni, termasuk musik, bukan hanya soal hasil akhir, tapi juga tentang proses. Maka ke depan, akan lebih baik jika sistem hybrid tetap dijalankan, namun dengan perbaikan di sisi transparansi, interaksi, dan semangat kompetitif.

Mungkin dengan menayangkan video peserta secara terbuka, mengadakan sesi apresiasi daring, atau membuat ruang diskusi antar peserta setelah lomba.

Mari kita dorong agar lomba musik bukan hanya sekadar pengumpulan video, tapi menjadi ruang belajar, tumbuh, dan saling menginspirasi—baik bagi peserta, panitia, maupun penonton. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *