Buku Pelajaran Bukan Hanya Alat Ajar
BANTUL (Ampuh.id) – Padepokan Santri An ‘Amta, Jalan Kinanti 63, Karanggayam, di barat daya RS Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta, kembali menjadi ruang perjumpaan para pegiat seni budaya, seniman, budayawan, akademisi, guru, dan pemerhati pendidikan dalam agenda rutin Kajian dan Apresiasi Seni Budaya Sabtu Pon Malam Ahad Wage (Samawa) ke-21. Kali ini, pada Sabtu, 31 Mei 2025, forum Samawa mengangkat tema “Menimbang Nilai Budaya dalam Buku Pelajaran Bahasa Inggris”.
Bertindak sebagai pemateri utama, Sucipto PhD, dosen Universitas Ahmad Dahlan sekaligus Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Ia memantik diskusi dengan pemaparan mendalam tentang bagaimana nilai budaya tersembunyi (deep culture) hadir dalam buku pelajaran Bahasa Inggris di Indonesia. Ia menekankan pentingnya membaca buku pelajaran tidak hanya sebagai alat ajar bahasa, tetapi juga sebagai medium penyampai nilai dan ideologi budaya.
Menurut Sucipto, buku pelajaran acap kali menyisipkan nilai-nilai budaya asing, terutama Barat, dalam narasi, dialog, dan tokoh. Hal ini, katanya, bisa menggeser cara pandang siswa terhadap relasi sosial, keluarga, bahkan identitas nasional, jika tidak disikapi secara kritis.
“Tanpa kesadaran budaya, siswa akan menjadi peniru nilai-nilai asing yang tidak selalu cocok dengan konteks sosial-budaya Indonesia,” ujar lulusan Central China Normal University, Wuhan, Tiongkok ini.
Ia menggarisbawahi perlunya guru menjadi penjembatan budaya (cultural mediator), bukan sekadar pengajar struktur bahasa. Buku pelajaran perlu dikembangkan dengan lebih berimbang secara budaya, menghadirkan praktik, tokoh, dan perspektif dari khazanah budaya Indonesia, dalam Bahasa Inggris. Hal ini, menurutnya, penting untuk memperkuat identitas siswa sebagai bagian dari bangsa yang multikultural.
Pembahas pertama, H Jabrohim, mantan dosen Universitas Ahmad Dahlan dan aktivis kebudayaan lintas dekade, mempertegas bahwa buku pelajaran adalah alat ideologis, bukan hanya teknis. “Kalau siswa hanya tahu nama-nama makanan dari Barat tapi tidak mengenali filosofi tumpeng atau kearifan di balik slametan, maka proses pendidikannya kehilangan konteks,” ujar penulis buku Keterampilan Berbahasa ini.
Ia menekankan pentingnya menghadirkan kesadaran budaya dalam pembelajaran bahasa, terutama bahasa asing. Baginya, guru harus mampu menghidupkan dialog budaya di kelas, mengajak siswa mengkritisi dan membandingkan nilai asing dengan nilai lokal, sehingga mereka tidak kehilangan akar kebangsaan dalam proses globalisasi.
Pembahas kedua, Mahyudin Al Mudra SH MM MA menyatakan dukungannya atas analisis Sucipto dan Jabrohim. Sebagai Kepala Balai Kajian dan Budaya Melayu sekaligus pengusaha penerbitan buku pelajaran melalui PT AdiCita Karya Nusa, Mahyudin menyebut apa yang disampaikan kedua narasumber adalah kenyataan lapangan yang selama ini ia jumpai.
Ia menyatakan perlu lebih banyak orang seperti Sucipto dan Jabrohim, yang serius dan konsisten memikirkan isi dan arah buku pelajaran nasional.
Mahyudin menegaskan penerbitan buku pelajaran bukan semata urusan bisnis, tetapi juga tanggung jawab budaya. Lewat PT AdiCita, ia telah banyak menerbitkan buku pelajaran yang mencoba menyeimbangkan muatan lokal dan global, serta aktif menggandeng penulis-penulis dari berbagai daerah untuk memperkaya perspektif kebangsaan dalam materi ajar.
Orang seperti Sucipto dan Jabrohim yang merupakan pegiatan di persyarikatan Muhammadiyah perlu menciptakan iklim menulis buku pelajaran yang ideal menurut pandangan mereka dan Muhammadiyah memanfaatkan buku-buku yang ditulis sejalan dengan pemikiran kedua aktivis Muhammadiyah tersebut.
Mahyudin juga telah memelopori berbagai pelatihan penulisan buku ajar berbasis budaya lokal dan mendukung riset-riset yang memetakan representasi budaya dalam buku pelajaran. Menurutnya, buku pelajaran tidak boleh menimbulkan alienasi budaya, melainkan harus menjadi alat untuk menumbuhkan kebanggaan identitas.
Samawa ditutup dengan pernyataan bersama pentingnya sinergi antara akademisi, penerbit, guru, dan pemerintah dalam membangun ekosistem buku pelajaran yang adil secara budaya, berakar lokal, dan terbuka secara global. Kegiatan ini menegaskan kembali komitmen Samawa sebagai ruang diskusi terbuka lintas latar belakang demi memperkuat posisi seni dan budaya dalam pendidikan serta kehidupan berbangsa. (*)