Puisi-Puisi Awal Yusri Yusuf Dinilai Lebih Bagus
SEMARANG (Ampuh.id) – Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Jawa Tengah Gunoto Saparie memuji puisi-puisi awal Yusri Yusuf yang termuat dalam buku antologi “Kidungku Untukmu”. Dalam hal diksi atau pemilihan kata Yusri dinilai justru menunjukkan lebih selektif pada puisi-puisi ciptaan tahun 1970-an dibandingkan dengan puisi-puisi terbarunya. Puisi-puisi terakhirnya terkesan lebih cair dan verbal, kata-kata ditaburkan begitu saja, tanpa ada upaya menapisnya, agar menimbulkan daya saran yang kuat atau imaji tertentu.
Hal itu dikemukakan oleh Gunoto Saparie ketika menjadi pembahas dalam Bedah Buku Kumpulan Puisi “Kidungku Untukmu” di Ruang Audio-Visual Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Semarang, Jalan Pemuda, Ungaran, Rabu, 22 Januari 2025. Bertindak sebagai moderator Ketua Satupena Kabupaten Semarang yang juga Ketua Taman Bacaan Masyarakat Pasinaon Tirta Nursari. Kegiatan yang dihadiri oleh puluhan penyair dan peminat sastra itu dibuka oleh Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Semarang Heru Cahyono.
Gunoto sebelumnya sempat menyinggung judul buku kumpulan Yusri “Kidungku Untukmu”. Menurut dia, kalau kata”mu” ditujukan kepada Tuhan, seharusnya “m”-nya huruf capital, yaitu “Mu”. Selain itu, kata “Untukmu” seharusnya diawali dengan huruf kecil, sehingga judul buku tersebut tertulis sesuai ejaan yang berlaku, yaitu “Kidungku untuk-Mu”.
Gunoto menunjukkan beberapa tema yang menonjol dalam puisi-puisi Yusri. Tema merupakan unsur yang begitu penting dalam pembentukan sebuah karya sastra, termasuk puisi, karena tema adalah dasar bagi seorang penyair untuk mengembangkan narasi. Ada empat tema dalam puisi-puisi Yusri, yaitu tema cinta kasih antara pria dan wanita, kesepian, ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan sosial.
“Kita tahu, puisi mempunyai dua struktur, yakni struktur fisik dan struktur batin. Unsur-unsur fisik puisi adalah diksi, imaji, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tipografi. Sedangkan struktur batin puisi ada empat unsur penting, yakni tema, perasaan penyair, nada atau sikap penyair terhadap pembaca, dan amanat. Kecuali dalam sejumlah puisi awalnya, puisi-puisi baru Yusri, terutama puisi-puisi panjangnya, tidak menunjukkan penguasaan terhadap peralatan puitik yang seharusnya menjadi modal dasar penyair,” ujar Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah ini.
Menurut Gunoto, gaya bahasa digunakan Yusri untuk menuangkan ekspresi dan imajinasinya. Tujuannya adalah untuk menekankan atau menegaskan makna yang ingin disampaikan oleh sang penyair. Majas perbandingan, majas pertentangan, majas sindiran, dan majas penegasan. Dalam hal ini puisi-puisi pendek Yusri justru lebih berhasil dibandingkan dengan puisi-puisi panjangnya.
Puisi, demikian Gunoto, adalah jenis sastra yang dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi irama dan makna khusus. Jadi puisi adalah bentuk ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, larik dan bait, tetapi bentuk bahasanya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus. Dalam puisi-puisi panjangnya Yusri terkesan cerewet dan tidak terkontrol.
“Barometer keberhasilan karya sastra, termasuk puisi, adalah adanya kesatuan yang organis antara bentuk dan isi. Bentuk adalah bagaimana mengungkapkan, sedangkan isi adalah apa yang diungkapkan. Ini berarti, ketika dari segi tematik dan stilistik sebuah puisi tidak menunjukkan keterpaduan, maka puisi tersebut gagal. Puisi-puisi dengan tema besar tentang keadilan sosial yang ditulis Yusri terasa hanya tempelan karena tidak menyatu dengan bentuknya. Namun, puisi-puisi Yusri dengan tema sederhana seperti kesepian justru lebih berhasil,” ujarnya.
Yusri Yusuf selain menceritakan pengalamannya sebagai pelaut selama 40 tahun yang mengarungi berbagai laut dan samudera, mengatakan bahwa ia berpuisi untuk membela orang-orang miskin. Ia menyatakan tidak ada gunanya menulis puisi indah-indah tetapi tidak dipahami dan tidak dapat dinikmati. Oleh karena itu, ia menulis puisi yang komunikatif dan mudah dipahami oleh masyarakat sebagai bentuk komitmen sosial.
Bedah Buku “Kidungku Untukmu” terasa lebih hidup karena diwarnai dengan pembacaan puisi-puisi karya Yusri Yusuf oleh penyairnya sendiri yang penuh totalitas dan sejumlah penyair yang hadir, seperti Tirta Nursari, Budi Utomo, Nur Uhbiyati, Fransiska Ambar Kristyani, Sri Wahyu Wardhani, Wati Dirsan, Driya Widiana MS, Artvelo Hantu Laut, Didiet Jeepee, Susi Kapas, Warsit MS, dan lain-lain. Bahkan Kepala Dinarpus Kabupaten Semarang Heru Cahyono berkenan membacakan salah satu puisi karya Yusri dan menyanyikan sebuah lagu yang disambut dengan tepuk tangan meriah dari hadirin. (*)