Format Pembentukan FKUB Perlu Ditinjau Ulang
SEMARANG (Ampuh.id) – Format pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) perlu ditinjau ulang. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama hanya menyebutkan, FKUB adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion—FGD) yang diselenggarakan Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) di Ruang John Paul, Gereja Katedral Santa Perawan Maria Ratu Rosari Suci, Semarang, beberapa waktu lalu. Diskusi mengambil tema “Meninjau Ulang Format Pembentukan FKUB dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.”
Koordinator Pelita Setyawan Budy mengatakan, FGD ini berangkat dari ketidaksamaan persepsi antara sejumlah aktivis kerukunan umat beragama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam menafsirkan PBM No. 9 dan No. 8 Tahun 2006. Baru-baru ini Pemerintah Provinsi melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jawa Tengah telah membentuk FKUB Jawa Tengah periode 2024-2029. Padahal, kalau kita mengacu pada PBM tersebut, pemerintah daerah seharusnya tidak dalam posisi membentuk, namun hanya memfasilitasi pembentukan FKUB. Karena dalam regulasi itu jelas-jelas disebutkan FKUB adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat.
“Teman-teman Gerbang Watugong sempat mengajukan keberatan mengenai model pembentukan FKUB seperti ini, namun ternyata tidak digubris. Format pembentukan FKUB oleh pemerintah daerah ternyata juga dilakukan di sejumlah kabupaten dan kota,” ujar Wawan, panggilan akrab Setyawan Budy ini.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Teddy Kholiludin yang memandu FGD ini mengatakan, PBM No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 mengatur beberapa hal, di antaranya tentang pendirian rumah ibadah dan pembentukan FKUB. Dalam hal ini kita fokus pada format pembentukan FKUB yang kenyataannya tidak selalu seperti yang diatur dalam regulasi, yaitu dibentuk masyarakat dan difasilitasi pemerintah. Karena itu, perlu dicari format pembentukan FKUB yang ideal, misalnya dengan panitia seleksi (pansel).
Menurut Teddy, tidak ada petunjuk teknis yang menggambarkan dengan jelas mekanisme rekruitmen FKUB. Kita kehilangan petunjuk operasional tentang pembentukan FKUB dan bagaimana kriterianya. Karena cara pembentukan tidak diatur di PBM dan Pergub Jateng yang merupakan turunannya. Akibatnya, pemerintah memiliki interpretasi sendiri dan teman-teman FKUB lama punya idealisme sendiri pula.
Mantan Ketua FKUB Jawa Tengah Taslim Syahlan menceritakan pengalamannya saat pembentukan FKUB Jawa Tengah pada tahun 2013 dan 2019. Saat itu Badan Kesbangpol Jawa Tengah mengundang sejumlah elemen, seperti MUI, NU, Muhammadiyah, PHDI, Walubi, Keuskupan, PGI, dan lain-lain. Para pemuka dari berbagai agama itu, berjumlah 21 orang berkumpul dan bermusyawarah membentuk pengurus FKUB Jawa Tengah periode 2013-2018 dan Badan Kesbangpol Jawa Tengah hanya memfasilitasi. Format pembentukan FKUB seperti ini dilakukan juga oleh Badan Kesbangpol Jawa Tengah saat menyusun kepengurusan periode 2019-2024.
“Namun, ternyata kali ini, ketika pembentukan pengurus FKUB Jawa periode 2024-2029, pemerintah provinsi, dalam hal ini Kepala Badan Kesbangpol Jateng Haerudin justru aktif memimpin rapatnya sejak awal sampai akhir. Padahal seharusnya pemerintah provinsi hanya memfasilitasi pembentukan FKUB tersebut, bukan terlalu cawe-cawe,” kata Sekretaris Asosiasi FKUB se-Indonesia itu.
Sebagian besar peserta FGD tersebut setuju jika FKUB memang dibutuhkan. Karena FKUB dapat menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat. Taslim, misalnya, menyebutkan tentang pentingnya peran FKUB Jawa Tengah pada periode Gubernur Ganjar Pranowo. Karena kepala daerah menempatkan FKUB sebagai mitra strategis untuk berdiskusi ketika terjadi suatu dinamika di suatu daerah.
Ketua Satupena Jawa Tengah Gunoto Saparie mengatakan, sebenarnya PBM No. 9 dan No. 9 Tahun 2006 sebagai payung hukum lemah. Karena dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan tidak dikenal adanya Peraturan Bersama Menteri itu. Bahkan secara kewenangan, Menteri tidak tepat mengeluarkan Peraturan Bersama karena karena tidak ada atrtibusi ataupun delegasi dari peraturan perundang-undangan. Keberadaan PBM tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena tidak diperintah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Hadir dalam FGD tersebut sejumlah tokoh lintas agama dan aktivis lintas iman, juga pegiat hukum, seperti Sunardi Djoko Santoso, Maulana Saefullah Ahmad Farouk, Djoko Sukono, Sulistiawati Subekti, Krista Yustina Susilawati, R. Antony Dedy Septiadi, Romo Anggadhammo Warto, Nuhab Mujtaba Mahfuzh, Rizky Putra Edry, dan Naufal Sebastian. (*)