Dosen Psikologi USM : Orang Self-Harm Bukan Caper, tapi Ingin Lebih Didengar

SEMARANG (Ampuh.id) – ”Orang dengan self-harm itu tidak seperti stigma yang beredar di masyarakat. Orang dengan self-harm itu bukan orang yang punya sakit kejiwaan berat, bukan sebuah usaha untuk mencari perhatian, bukan individu yang tidak bersyukur, dan juga bukan sebuah kelemahan. Tapi itu merupakan sinyal agar mereka bisa lebih didengar”.

Hal tersebut disampaikan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang (USM), Feti Pratiwi, S.Psi., M.Psi, Psikolog, saat menjadi narasumber dalam Talkshow Klinik Psikologi USM, di Studio Radio USM Jaya, Gedung N Kampus USM, Senin (21/7/2025).

Talkshow yang dipandu oleh Penyiar Radio USM Jaya, Elsa Safira tersebut mengangkat tema ”Luka yang Tak Terlihat : Memahami dan Mencegah Self-Harm di Kalangan Mahasiswa”.

Tidak seperti stigma yang berkembang di masyarakat, Feti meluruskan bahwa orang dengan self-harm (menyakiti diri sendiri) hanya sampai pada tahap stress atau depresi, tidak sampai pada kondisi kejiwaan seperti skizofrenia.

Feti mengatakan, self-harm masuk ke dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) – 5 dan masuk ke Non-Suicidal Self Injury yaitu melukai diri tanpa ada keinginan untuk bunuh diri.

”Bentuknya bisa berupa sayatan di tangan, membenturkan kepala ke tembok. Ada case, ketika dia sedang muncul gangguannya, dia sampai menjambak rambutnya sendiri, menggigit kukunya sampai berdarah. Orang dengan self-harm menganggap bahwa tindakannya ada perasaan lega. Ada juga yang merasa kalau tidak sampai berdarah-darah, dia tidak akan puas,” katanya.

Penyebabnya beragam mulai dari tekanan keluarga, lingkungan terdekat, hingga masyarakat. Dalam lingkup mahasiswa, penyebab self harm mulai dari lingkungan akademik, tugas banyak, jadwal padat, penyelesaian tugas akhir atau skripsi yang membutuhkan effort banyak, masalah pertemanan, sampai masalah pacaran.

Menyadari kondisi diri sendiri, dan mencari dukungan yang sesuai dengan harapan, dapat membantu seseorang untuk bertahan di lingkungan yang kurang peduli terhadap kesehatan mental.

”Kalau bisa meregulasi emosi. Coba tanamkan sistem konvensional, yaitu bagaimana dirinya mengasishi diri sendiri bahwa elas asih terhadap tubuhnya. Sehingga ketika dia akan ada pemikiran untuk melakukan self-harm, dia merasa bahwa ini tubuhku yang berharga, yang dikasih Tuhan, berarti aku harus menjaganya. Itu kemampuan regulasi emosi yang baik,” jelasnya.

Menurut Feti, orang dengan self-harm dapat pulih jika ada keinginan untuk pulih. Caranya dapat melalui regulasi emosi sendiri, ataupun datang ke profesional.

Sebagai informasi, USM memiliki UPNS Konseling USM yang menjadi wadah bagi mahasiswa untuk melakukan konseling terkait gangguan kesehatan mental, dengan para konselor psikolog profesional dari konseling USM.

Meskipun termasuk kedalam Non-Suicidal Self Injury, jika dibiarkan dalam jangka panjang, maka orang dengan self-harm akan memiliki pemikiran untuk bunuh diri.

”Berkaitan dengan kondisi kesehatan mental, psikis seseorang itu tidak terlihat dan tidak terdengar bagaimana kondidi psikologis yang mereka rasakan. Sehingga kita sebagai lingkungan terdekatnya, social support itu perlu, memberikan dukungan yang postif bagi mereka. Jangan langsung di judge dan jangan dibiarkan, tetapi kita rangkul bersama-sama,” tegas Feti. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *