Urbanisasi: Ketimpangan Desa-Kota Picu Permukiman Kumuh
Oleh: Mohammad Agung Ridlo
SEMARANG (Ampuh.id) – Urbanisasi di Indonesia telah berlangsung secara masif dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena ini dipicu oleh ketidakmerataan pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Kota-kota menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, industri, dan modernisasi, sedangkan desa tertinggal dalam hal peluang kerja dan akses terhadap fasilitas dasar. Ketimpangan ini mendorong masyarakat desa, khususnya kelompok usia produktif, untuk bermigrasi ke kota demi mencari masa depan yang lebih baik.
Pembangunan yang lebih terkonsentrasi di perkotaan menciptakan daya tarik kuat bagi masyarakat perdesaan (wilayah hinterland) untuk bermigrasi. Namun, daya tampung kota terhadap lonjakan penduduk baru sangat terbatas. Akibatnya, terjadi ledakan jumlah penduduk di perkotaan yang tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja, perumahan, dan infrastruktur yang memadai.
Dampak Negatif Urbanisasi
Pertumbuhan penduduk yang pesat di kota menyebabkan berbagai masalah, antara lain:
Pertama, Meningkatnya pengangguran. Banyak pendatang yang memiliki keterampilan dan pendidikan rendah, sehingga sulit bersaing di pasar kerja formal.
Kedua, Bertambahnya Penduduk Miskin Perkotaan. Banyak migran hanya mampu bekerja di sektor informal dengan penghasilan rendah, sehingga menambah jumlah penduduk miskin di perkotaan.
Ketiga, Krisis Perumahan. Keterbatasan kapasitas pemerintah dan swasta dalam menyediakan perumahan formal yang terjangkau menyebabkan banyak pendatang bermukim di lahan-lahan tidak resmi. Perumahan formal seperti real estat atau rumah susun umumnya hanya dapat diakses oleh golongan menengah ke atas, sementara masyarakat berpendapatan rendah terpaksa mencari solusi sendiri.
Merebaknya Permukiman Kumuh
Masyarakat berpenghasilan rendah membangun permukiman di lokasi-lokasi strategis namun ilegal, seperti bantaran sungai, rel kereta api, belakang pasar, lahan kuburan, sekitar terminal, hingga dekat tempat pembuangan sampah. Permukiman ini tumbuh padat, kumuh, dan tidak layak huni karena:
Pertama, Tidak memenuhi standar teknis maupun non-teknis sebagai hunian. Kedua, Minim akses air bersih, sanitasi, layanan kesehatan, dan pendidikan. Ketiga, Rawan bencana dan penyakit akibat lingkungan yang buruk.
Permukiman kumuh identik dengan kemiskinan dan marjinalisasi sosial, serta memicu berbagai masalah sosial seperti meningkatnya jumlah tunawisma, anak jalanan, kriminalitas, vandalisme, dan degradasi lingkungan fisik maupun sosial.
Tantangan Penanganan Permukiman Kumuh
Upaya penggusuran dan relokasi yang dilakukan pemerintah seringkali tidak menyelesaikan masalah. Warga miskin yang direlokasi ke rumah susun atau pinggiran kota kerap kehilangan akses pekerjaan dan jaringan sosial, sehingga banyak yang kembali ke permukiman kumuh di pusat kota atau membangun kawasan kumuh baru di lokasi lain.
Kemampuan pemerintah dalam menyediakan perumahan dan permukiman layak sangat terbatas. Sementara itu, masyarakat miskin tidak memiliki daya beli dan akses terhadap perumahan formal, terutama karena hambatan sosial-formal yang membatasi ruang dan peluang mereka untuk berkembang.
Solusi yang Diperlukan
Urban manager dan stakeholder harus mengatur tata ruang kota agar tercipta lingkungan permukiman yang sehat (Healthy Cell Tissue Microscopic Community Planning). Pengawasan dan penegakan hukum terhadap pemanfaatan lahan sangat penting untuk mencegah munculnya kawasan kumuh dan liar baru. Selain itu, solusi jangka panjang harus mempertimbangkan aspek ruang (place), pekerjaan (work), dan aksesibilitas agar masyarakat miskin tidak terus-menerus terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan kekumuhan. Oleh karenanya, maka solusi yang diperlukan:
Pertama, Pemberdayaan Masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan perumahan secara mandiri.
Kedua, Pemerintah berperan sebagai fasilitator (enabler) yang menciptakan iklim kondusif bagi partisipasi masyarakat, bukan hanya sebagai penyedia (provider).
Ketiga, Kolaborasi dengan berbagai pihak seperti LSM, koperasi perumahan, yayasan sosial, dan organisasi profesi untuk mendorong perbaikan lingkungan permukiman.
Kesimpulan
Dampak negatif urbanisasi di Indonesia terutama dipicu oleh ketimpangan peluang antara kota dan desa, yang berujung pada ledakan penduduk miskin di perkotaan, krisis perumahan, dan tumbuh suburnya permukiman kumuh. Penanganan masalah ini memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan pemberdayaan masyarakat, kolaborasi lintas sektor, serta penataan ruang dan penegakan hukum yang tegas. (*)
*) Dr Ir Mohammad Agung Ridlo MT
• Ketua Program Pascasarjana S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (MPWK) Fakultas Teknik Unissula.
• Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah.
• Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah