Tiga Penyair Jateng Masuk Antologi ‘Kesaksian Zaman’

SeMARANG (Ampuh.id) – Tiga penyair Jawa Tengah, yaitu Gunoto Saparie (Semarang), Habibaturrohmah (Blora), dan Zainul Mutawakkil (Cilacap) masuk dalam buku antologi puisi esai “Kesaksian Zaman”. Buku yang diterbitkan oleh Cerah Budaya Internasional, Wyoming, USA, Maret 2025, memuat 65 puisi esai dari para penyair seluruh Indonesia.

Penggagas puisi esai di Indonesia, Denny JA, pada kata pengantar dalam buku ini mengatakan, puisi esai bukan sekadar puisi, dan bukan sekadar esai. Ia adalah hibrida yang unik, tempat fakta dan emosi berkelindan, tempat sejarah direkonstruksi bukan hanya melalui angka, tetapi melalui rasa. Ia memiliki akurasi akademik dari esai, tetapi juga keindahan lirikal dari puisi. Ia menyentuh akal dan hati sekaligus. Ia ekspresi hati yang memiliki catatan kaki.

Menurut Ketua Umum Satupena Indonesia itu, buku antologi ini merupakan bukti bagaimana sejarah bisa diselamatkan melalui puisi esai. Di dalamnya, ada kisah para korban perang, para imigran yang terusir dari tanahnya, anak- anak yang kehilangan rumah, para pencari keadilan yang tak pernah mendapat tempat dalam berita utama.

Penyunting buku ini, Dhenok Kristianti, mengatakan bahwa dalam antologi puisi esai “Kesaksian Zaman” terpilih 65 karya para penyair dari berbagai kalangan. Ada 33 puisi esai mini karya para senior dan kakak asuh, 11 karya para Duta Puisi Esai, dan 18 karya adik asuh. Ditambah 3 puisi esai mini karya Denny JA.

Dalam buku ini Denny menampilkan tiga puisi esai berjudul “Kereta Menuju Neraka”, “Dua Matahari di Ufuk Berbeda”, dan”Sebagai Imigran Ia Masih Luka”. Sedangkan Agus R. Sarjono menampilkan puisi esai “Langit Kelam dan Bedebah Itu”, Ahmad Gaus dengan puisi esai “Air Mata Jenazah”, Ahmadie Thaha dengan puisi esai “Ceceran Getir Konflik Ambon”, Akaha Taufan Aminudin dengan puisi esai “Pulang dalam Keabadian Cinta”, dan Amelia Fitriani menampilkan puisi esai “Nama Marsinah Masih Wangi”.

Anick HT tampil dengan puisi esai “Tuhanmu Bukan Tuhanmu”, Anwar Putra Bayu dengan puisi esai “Kunang-Kunang di Matamu”, D. Kemalawati dengan “Jangan Ambil Gelang Emasku”, Dhenok Kristianti “Jangan Panggil Aku Darmawan”, Elza Peldi Taher “Makan Gratis, Masa Depan yang Hilang”, Fatin Hamama “Mazmur Duka Mazmur Cinta”, Gol A Gong “Nasihat Amak Terbawa Mati”, dan Gunoto Saparie “Elegi Siswa Penghayat Kepercayaan”.

Hamri Manoppo tampil dengan puisi esai “Di Tanah yang Tersembunyi”, Ipit Saefidier Dimyati “Alunan Cinta Titin dan Dadang”, “Irsyad Mohammad “Asia Salsabilla: Harmoni di Ujung Gelombang”, Isbedy Stiawan ZS “Mata Tajam dari Myanma”, Isti Nugroho “Kutulis Puisi Esai Kiri yang Kere di Telinga Negara”, Jasni Matlani “Di Mana Jalan Pulang”, Jonminofri Nazir “Andaikan Aku Punya Jet Pribadi”, Mila Muzakkar “Pengantin Bocah di Atas Altar Kematian”, Monica JR “Aku, Saksi Zaman Kesepian”, Muhammad Thobroni “Guru Sejarah”.

Nia Samsihono menampilkan karya puisi esai “Perempuan Itu Mati Ditagih Pinjol”, Nita Lusaid dengan puisi esai “Ayah bagi Seribu Anak”, Novriantoni Kahar “Monumen Cinta di Jantung Jenewa”, Okky Madasari “Balada Penjual Es”, Ririe Aiko “Sejarah yang Tertulis di Tanah Busan”, Rita Orbaningrum “Di Balik Situs Penghancur, Ada Cinta Pembuat Makmur”,

Sastri Bakry “Ayah Rutiang”, Satrio Arismunandar “Kisah Yasir, Yasmin, dan Dua Akta Kelahiran”, Syaefudin Simon “Ion-Ion Semesta”, dan Victor Manengkey “Gejolak 29-08-2019”.

Buku ini juga memuat puisi-puisi esai karya para penyair Generasi Z. Mereka terpilih sebagai Duta Puisi Esai Nasional 2024. Mereka adalah Aqilah Mumtaza (Daerah Istimewa Yogyakarta) dengan puisi esai “Dilanda Prahara”, Atiya Fathina (Nanggroe Aceh Darussalam) “Jerat Dadu yang Membelenggu”, Della Rosa (Sumatera Selatan) “Dewa Gelap Pemakan Timah dan Dayang-dayangnya”, Dewi Arimbi (Jawa Barat) “Selembar Syal di Tanah Tak Bertuan”, Habibaturrohmah (Jawa Tengah) “Kalung Cut Nyak Berkilau di Kegelapan”, dan Lamya Nufaisah (Bangka Belitung) “Lima Belas Tangan Satu Kehidupan yang Hilang”.

Selain itu, juga Mointa Bangki (Sulawesi Utara) dengan puisi esai “Jejak Terlupakan di Tanah Leluhur”, Ordertus Tebai (Papua) “Orang Papua Menjerit Kelaparan”, Rey Hanny Ikhlas (Antar-Benua) “Dalam Penjara Sunyi”, Sevia (Banten) “Ada yang Retak di Ufuk Barat”, Ummi Ulfatus Syahriyah (Jawa Timur) “Sarinem, Jurudamai Tokorondo”, dan Alina Rumi (Lampung) “Kopi Senja untuk Suamiku”.

Selain itu juga terpilih puisi-puisi Generasi Z yang merupakan adik asuh dari sejumlah kakak asuh yang merupakan penyair senior. Mereka Andrian Sani (Sumatera Selatan) “Tak Semanis Namamu”, Azril (Bangka Belitung) “Triliunan yang Terkubur”.

Cahyo Muhammad Yusuf (Jawa Barat) “Tubuh yang Mati”, Dike M. Fardja (Nanggroe Aceh Darussalam) “Di Ujung Harapan, Luka Beutong Ateuh”, Djessica Yula An Nur (Daerah Istimewa Yogyakarta) “Demo! Demo! Aku Harus Bagaimana?”, Dwi Rahmatunnisa (Jawa Barat) “Suara dari Jalanan”, Eka Gilang W.S. (Banten)”Terganyang Tiga Serigala”, Milda Sifna Wifakhotul Muna (Kalimantan) “Kisah Anak Asap”, Mince Warbandido (Papua) “Mengejar Presiden untuk Selfie”, Nurul Asyiqin Zamri (Sabah, Malaysia) “Riwayat Seorang Pendidik”, Raditya Christian Tantama (Jawa Timur) “Tangisan Pilu Potret Negeri”, Rahma Elfe (Antar-Benua) “Luka di Tanah Makassar”, Raka Ardiansyah Elat (Sulawesi Utara) “Mimpi Alif Hanyut”, Sarah Nurhanifah K. (DKI Jakarta) “Hilangnya Pokok Kehidupan”, Siska Saputri (Sumatera Barat) “Menyamar dalam Keringat”, Zainul Mutawakkil (Jawa Tengah) “Jeritan di Balik Api”, dan Pham Hoang Khang (Vietnam) “I Just Wanted Peace”. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *