Jateng Patut Mencontoh DKI soal Dana Abadi Kebudayaan
SEMARANG (Ampuh.id) – Provinsi Jawa Tengah patut mencontoh Provinsi Daerah Khusus Indonesia Jakarta dalam pembentukan Dana Abadi Kebudayaan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 31 Ayat (2) ditegaskan mengenai komitmen baru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang kebudayaan, yakni melalui pembentukan Dana Abadi Kebudayaan. Hal ini merupakan langkah strategis dan monumental, terutama di tengah tantangan pelestarian budaya di era urbanisasi dan modernisasi yang pesat.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Gunoto Saparie dalam siaran pers di sekretariat organisasi tersebut, Jalan Taman Karonsih 654, Semarang, Kamis, 29 Mei 2025, menyikapi kemungkinan Provinsi Jawa Tengah membentuk Dana Abadi Kebudayaan. Menurut Gunoto, inisiatif Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, untuk membentuk “Jakarta Fund”, yang diharapkan dapat menjadi sumber dana abadi kebudayaan yang mandiri, inklusif, dan berkelanjutan, layak diteladani.
Gunoto Saparie mengatakan, praktik dana abadi sebenarnya bukan hal baru. Pemerintah pusat telah terlebih dahulu menerapkannya melalui Dana Indonesiana, sebuah mekanisme pendanaan terbuka dan berkelanjutan bagi pelaku budaya sejak 2022.
Dalam tiga tahun terakhir, Dana Indonesiana telah mendanai ratusan kegiatan dengan nilai miliaran rupiah. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa Dana Abadi adalah model pendanaan yang tidak hanya lebih fleksibel, tetapi juga mampu menjangkau kebutuhan riil masyarakat budaya di lapangan.
“Dari sini kemudian muncul dorongan kuat pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2023 agar daerah-daerah juga mulai membentuk Dana Abadi Kebudayaan. Tujuannya adalah agar pendanaan kebudayaan tidak melulu terpusat dan birokratis, melainkan hadir langsung dari dan untuk daerahnya,” katanya.
Memang, ujar Ketua Umum Satupena Jawa Tengah ini, sebagai ibu kota dengan struktur keuangan dan infrastruktur yang relatif mapan, Jakarta memenuhi sebagian besar syarat untuk membentuk Dana Abadi Kebudayaan Daerah: pelayanan dasar masyarakat telah relatif terpenuhi, terdapat sisa lebih penggunaan anggaran (SiLPA), dan komitmen terhadap kesejahteraan masyarakat cukup kuat. Secara politis dan administratif, Jakarta siap untuk menjadi pionir pembentukan Dana Abadi Kebudayaan Daerah. Akan tetapi, kesiapan administratif belum tentu menjamin realisasi yang mulus. Masih terdapat sejumlah tantangan dan kendala yang patut dicermati.
“Salah satu tantangan utama adalah membangun sistem tata kelola Dana Abadi Kebudayaan yang transparan, akuntabel, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat budaya. Pengelolaannya tidak boleh tersentralisasi secara birokratis, tetapi juga tidak bisa dilepas sepenuhnya ke pasar atau swasta. Dibutuhkan struktur pengelolaan independen dengan partisipasi aktif pelaku budaya,” tandas Gunoto yang juga Deputi I Komite Seni Budaya Nusantara Jawa Tengah ini.
Di samping itu, demikian Gunoto, walaupun dana tersedia, belum tentu para pelaku budaya bisa dengan mudah mengaksesnya. Hal ini bisa terjadi karena keterbatasan literasi pengajuan proposal, dokumentasi, hingga pelaporan. Maka, sistem pendanaan harus dirancang agar mudah diakses oleh komunitas-komunitas kecil yang justru menjadi penjaga kebudayaan lokal.
Gunoto menuturkan, dalam konteks pemerintahan daerah, selalu ada risiko bahwa dana kebudayaan disalahgunakan untuk kepentingan politik elektoral. Karena itu, mekanisme yang kuat dan independen menjadi syarat mutlak untuk menjaga integritas program ini.
“Meskipun demikian, terlepas dari tantangan-tantangan tersebut, inisiatif DKI Jakarta layak dijadikan model bagi provinsi lain di Indonesia, termasuk Jawa Tengah. Jika berhasil, Dana Abadi Kebudayaan Jakarta akan menjadi bukti nyata bahwa pembangunan kebudayaan bisa dilakukan dengan pendekatan berkelanjutan, bukan sekadar bergantung pada alokasi anggaran tahunan yang sering kali rentan terhadap perubahan politik atau kebijakan,” ujarnya.
Pembentukan Dana Abadi Kebudayaan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, lanjut Gunoto, merupakan langkah progresif yang layak diapresiasi dan diikuti. Dengan tata kelola yang tepat, transparansi, serta partisipasi publik yang kuat, dana ini dapat menjadi tulang punggung pemajuan kebudayaan yang inklusif dan berjangka panjang. Di tengah derasnya arus modernisasi, dana abadi ini adalah jembatan yang menghubungkan akar budaya lokal dengan masa depan yang lebih berkarakter dan berdaulat secara budaya. (*)