ICMI Prihatinkan Memudarnya Silaturahmi di Hari Idul Fitri

SEMARANG (Ampuh.id) – Hari Idul Fitri, yang sesungguhnya merupakan momen untuk mempererat tali silaturahmi antarsesama, kini semakin kehilangan esensinya, terutama di tengah kehidupan perkotaan yang serba sibuk dan penuh dengan hiruk-pikuk modernitas.

Tradisi saling berkunjung dan bermaafan antartetangga yang dulunya menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Lebaran, kini semakin langka dijumpai. Fenomena ini tentu saja memprihatinkan, mengingat silaturahmi adalah nilai luhur dalam budaya Indonesia, di mana tidak hanya mengikat hubungan antarkeluarga, tetapi juga memperkokoh persaudaraan dalam masyarakat.

Hal tersebut dikemukakan oleh Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah Gunoto Saparie di Semarang, Jumat (28/3/2025), menanggapi fenomena memudarnya silaturahmi di masyarakat, terutama di perkotaan, dewasa ini.

Gunoto mengatakan, di masa lalu, Hari Idul Fitri adalah saat yang sangat dinanti-nanti, bukan hanya untuk merayakan kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh, tetapi juga untuk menjalin kembali hubungan dengan sanak saudara, teman, dan tetangga. Berkunjung ke rumah-rumah kerabat atau tetangga, saling bermaafan, bahkan berbagi makanan khas Lebaran menjadi tradisi yang menghangatkan hati. Hal ini menciptakan rasa kebersamaan dan mempererat hubungan sosial antarindividu, tanpa memandang status sosial atau latar belakang lainnya.

Akan tetapi, demikian Ketua Umum Satupena Jawa Tengah ini, seiring dengan perkembangan zaman dan semakin modernnya kehidupan perkotaan, tradisi tersebut semakin tergerus.

Rutinitas yang padat, jarak yang jauh antar-rumah, dan kemudahan teknologi membuat banyak orang merasa tidak perlu lagi melakukan kunjungan fisik.

Salah satu alasan utama adalah banyak orang lebih memilih menghabiskan waktu libur Idulfitri mereka dengan berkunjung ke tempat wisata, bersantai, atau berlibur bersama keluarga inti di luar kota. Aktivitas ini memang menyenangkan, tetapi sangat meminimalkan kesempatan untuk berinteraksi dengan tetangga atau sanak saudara yang seharusnya menjadi momen untuk saling berbagi kebahagiaan.

“Kemajuan teknologi, khususnya ponsel pintar, seolah menggantikan tradisi berkunjung langsung. Kini, bermaafan dan mengirimkan ucapan selamat Idulfitri dapat dilakukan melalui pesan singkat, media sosial, atau aplikasi pesan instan tanpa harus bertatap muka. Meskipun ini memang memudahkan, ada kekosongan yang muncul. Ucapan yang disampaikan secara digital tidak dapat menggantikan hangatnya pelukan atau salaman langsung yang penuh makna. Bahkan, interaksi virtual ini cenderung terkesan lebih formal dan kurang personal,” ujarnya.

Menurut Gunoto, memudarnya silaturahmi ini tentu menyisakan banyak dampak negatif. Silaturahmi yang sejatinya memiliki banyak manfaat, seperti mempererat hubungan sosial, menumbuhkan rasa empati, dan memperkuat rasa persaudaraan, kini mulai tergerus oleh kesibukan dan teknologi.

Di dunia yang semakin individualistis ini, lanjut dia, kesempatan untuk saling bertemu dan berbagi cerita semakin sedikit. Hal ini mengarah pada kurangnya kedekatan antar individu, yang pada akhirnya mempengaruhi solidaritas dalam masyarakat.

“Padahal kehilangan silaturahmi ini dapat berpengaruh pada kesehatan mental. Bertemu dan berbicara langsung dengan orang lain dapat memberikan rasa kenyamanan dan kebahagiaan yang sulit digantikan dengan teknologi. Keterikatan emosional yang terbentuk melalui tatap muka dan sentuhan fisik dapat memberikan rasa aman dan diterima, sementara komunikasi digital seringkali terkesan lebih dingin dan terbatas,” katanya.

Oleh karena itu, tambah Gunoto Saparie, sangat penting bagi kita untuk kembali merenung dan menghargai makna sesungguhnya dari silaturahmi, terlebih di hari yang suci seperti Idul Fitri.

Meskipun teknologi memberikan kemudahan dalam berkomunikasi, tidak ada yang dapat menggantikan nilai dari pertemuan langsung dan berbagi momen kebahagiaan secara nyata. Mungkin sudah saatnya kita memanfaatkan teknologi untuk menghubungkan diri dengan orang yang jauh, tetapi tidak boleh melupakan nilai-nilai tradisional yang sudah menjadi bagian dari budaya kita, seperti berkunjung, bermaafan, dan saling berbagi kebahagiaan dalam kebersamaan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *